Pages

Sego Megono


Di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, Sego Megono berubah nama menjadi Nasi Begana. Olahan sayurannyapun bermacam-macam. Yang sering digunakan adalah kacang panjang dan tauge. Padahal yang dimaksud dengan Megono adalah cacahan nangka muda yang dimasak dengan bumbu rempah-rempah dan parutan kelapa.
Membuat Megono susah-susah gampang. Pertama, kupas nangka muda dan cacah sampai lembut. Kedua, campur kelapa parut bersama bumbu-bumbu yang telah dihaluskan (bawang merah, bawang putih kemiri, cabe rawit, kencur, terasi, pala, merica, ketumbar dan garam), daun salam (sobek-sobek), lengkuas (memarkan), serai (memarkan dan simpulkan), dan kayu manis. Ketiga, campuran kelapa dan bumbu kemudian dimasukkan ke dalam cacahan nangka muda. Aduk-aduk hingga tercampur rata. Jika sudah tercampur rata, kukus sampai matang.
Cara penyajian:
Ambil 2 lembar daun pisang dan bentuk menjadi takir. Takir itu kemudian diisi dengan nasi putih, megono, tempe goreng (biasanya setengan matang yang disebut dengan mendoan, sambel dan lauk pendamping lainnya. Sajikan ....
*Note: Megono yang asli biasanya dicampur dengan cacahan honje. Berhubung tidak semua orang suka honje (termasuk aku), maka keberadaan honje sering ditiadakan. Sego Megono lazim disantap untuk sarapan dan makan malam. Di Comal, kotaku tercinta!, lesehan Nasi Megono berderet sepanjang Jl. Ahmad Yani, dari pertigaan Blandong sampai dekat Pasar. Pengin? Ayo datang! Mumpung aku masih di kampung halaman haha ....

Jati Sungsang


Cerita ini berawal ketika Sunan Kalijogo datang ke Desa Wirotho (sebelah selatan Wiradesa). Di desa ini beliau berniat membuat sebuah perahu. Maka ditebanglah sebatang pohon jati berukuran besar. Tetapi sebelum jati itu ditebang, Sunan Kalijogo berinisiatif mendatangkan penari topeng sebagai bagian dari ritual. Maka sebagai 'tetenger' tunggak jati yang begitu besar dinamakan Jati Sitopeng (konon keberadaannnya masih ada sampai sekarang). Sedangkan perahunya sendiri dinamakan Perahu Kolodhito.
Cerita tidak berhenti sampai di sini saja. Sebuah perahu membutuhkan kemudi. Sebagai orang kepercayaan Sunan Kalijogo, Pangeran Bahurekso lantas memotong sebatang dahan untuk dijadikan kemudi. Tetapi ketika dirasa terlalu kecil, maka dibuangnya begitu saja dengan cara dilempar. Ajaib, potongan dahan tadi jatuh di Desa Pendowo dan bersandar di Pohon Kedoyo. (Besar sekali tenaga manusia pada jaman dulu, ya. Rentang jarak Wirotho - Pendowo lebih dari 17 km). Karena dahan jatuhnya miring, maka dinamakan Jati Sungsang. Dan lebih ajaibnya lagi, keberadaannya masih eksis sampai sekarang. Meski terlihat keropos karena dimakan usia, tetapi tidak menyurutkan orang-orang untuk tidak datang. Setiap malam ada saja orang yang ngalap berkah ditempat itu. Membakar kemenyan dan semedi. Katanya sih, Jati Sungsang kerap memberi nomer jitu untuk buntutan.

*Note: Foto di bawah adalah Jati Sungsang yang bersandar di Pohon Kedoyo. Dan kalo kalian jeli, tepat di bawah dahan itu, di dalam lingkaran semen, ada sebuah anglo yang selalu digunakan penziarah untuk membakar dupa.

Tanggul

Dalam mengantisipasi datangnya banjir dimusim hujan, tanggul tidak hanya dibuat di bibir sungai. Seorang pemilik rumah membuat tanggul untuk mengantisipasi banjir agar tidak mencium bibir pintu. Brilliant haha ....

Tauto

Sudah pernah dengar Tauto belum? Tauto atau Soto Tauco lazim ditemukan di wilayah Pekalongan dan daerah sekitarnya. Jika Soto Betawi berkuah putih agak kental, Soto Kudus berkuah bening, maka Soto Tauco atau Tauto khas Pekalongan berkuah luged kecoklatan. Aroma dan rasa sangat berbeda dari soto-soto pada umumnya.
Di Comal yang paling terkenal adalah Tauto Pak Dardji. Buka sekitar pukul lima sore dan sebelum pukul sepuluh malam biasanya sudah tutup. Kenapa? Karena dagangan Pak Dardji ini sangat laris. Penggemarnya banyak sekali. Jika akhir pekan tiba, malah bisa tutup lebih dini lagi. Karena orang-orang yang merantau di kota lain, dan pulang di akhir pekan, biasanya akan menyerbu tempat ini.
O ya, semangkuk Tauto berisi beberapa potong irisan lontong, soun, tauge, suwiran daging ayam atau irisan daging sapi dan satu sendok makan tauco goreng yang telah dihaluskan sebelumnya. Terakhir disiram dengan kuah kaldu panas. Yang membuat Tauto Pak Dardji terasa istimewa adalah daging ayam yang digunakan adalah ayam kampung. Sedangkan tauconya menggunakan yang berkualitas nomer satu. Ingin tahu seperti apa bentuknya?

Lontong Perang


Sarapan orang kampung ....

Sawo

Sawo adalah buah berbentuk bulat atau sedikit lonjong dengan rasa sepat ketika masih mentah dan sangat manis ketika sudah matang. Buah dengan pohon yang besar dan rindang ini jika di Malaysia dinamakan Ciku, di Filipana namanya Tsiko, orang India menamakannya dengan Sapota, dan di Inggris disebut dengan Sapodilla.
Tentu, aku kecil sudah akrab dengan Sawo. Aku tumbuh dan besar dilingkungan yang banyak tumbuh Pohon Sawo. Buah Sawo biasanya dipanen ketika sudah tua. Sebelum diperam sawo-sawo itu dibersihkan dengan menggosok dan mencucinya dengan air. Setelah dikeringkan dengan cara dijemur, barulah masuk karung untuk diperam.
Tapi kemarin aku mendapati buah sawo matang pohon. Besar-besar, tapi ada beberapa juga yang kecil. Rasanya ... wow, muanis sekali. Lebih manis dari yang diperam. Aku tidak tahan untuk tidak memotretnya. Dan cekrik, mata kameraku bekerja dan membagi hasilnya di sini. Dinikmati, ya haha ....

Bocah Perokok


Aku bertemu bocah ini dalam perjalanan pulang dari Puspitek - Serpong. Bersama seorang temannya, yang sepantaran dia juga, mereka berjualan Jambu Biji diseruas jalan yang ditaruh di atas gerobak dorong. Yang bikin aku miris adalah cara mereka menikmati rokok. Diusia yang masih sangat belia, mereka piawai memainkan asap menjadi bulatan-bulatan, atau menghisapnya kuat-kuat melewati tenggorokan kemudian mengeluarkannya lewat hidung. Jika diusia segini saja sudah mahir, jadi sejak kapan sebenarnya mereka belajar merokok? Deuhh ....