Cerita ini berawal ketika Sunan Kalijogo datang
ke Desa Wirotho (sebelah selatan Wiradesa). Di desa ini beliau berniat
membuat sebuah perahu. Maka ditebanglah sebatang pohon jati berukuran
besar. Tetapi sebelum jati itu ditebang, Sunan Kalijogo berinisiatif
mendatangkan penari topeng sebagai bagian dari ritual. Maka sebagai
'tetenger' tunggak jati yang begitu besar dinamakan Jati Sitopeng (konon
keberadaannnya masih ada sampai sekarang). Sedangkan perahunya sendiri dinamakan Perahu Kolodhito.
Cerita tidak berhenti sampai di sini saja. Sebuah perahu membutuhkan
kemudi. Sebagai orang kepercayaan Sunan Kalijogo, Pangeran Bahurekso
lantas memotong sebatang dahan untuk dijadikan kemudi. Tetapi ketika
dirasa terlalu kecil, maka dibuangnya begitu saja dengan cara dilempar.
Ajaib, potongan dahan tadi jatuh di Desa Pendowo dan bersandar di Pohon
Kedoyo. (Besar sekali tenaga manusia pada jaman dulu, ya. Rentang jarak
Wirotho - Pendowo lebih dari 17 km). Karena dahan jatuhnya miring, maka
dinamakan Jati Sungsang. Dan lebih ajaibnya lagi, keberadaannya masih
eksis sampai sekarang. Meski terlihat keropos karena dimakan usia,
tetapi tidak menyurutkan orang-orang untuk tidak datang. Setiap malam
ada saja orang yang ngalap berkah ditempat itu. Membakar kemenyan dan
semedi. Katanya sih, Jati Sungsang kerap memberi nomer jitu untuk
buntutan.
0 comments:
Post a Comment