Pages

Ia Datang Ketika Malam Mulai Mengeripu


Assalamu'alaikum ...," ketuknya di pintu. "Aku ini lagi sedih, Mbak. Ingin pulang ke Klaten. Tapi belum libur. Masih setengah bulan lagi. Sampai demam, rasanya ...." Suaranya mengandung tangis. Meluncur deras, seperti air terjun yang rindu pada batu kali.
"Rindu Pier? Bersabarlah. Dua minggu memang waktu yang sangat lama kalau ditunggu. Jadi sibukkan dirimu. Telpon Pier setiap saat. Dengarkan suaranya. Tampunglah curhat kanak-kanaknya ..." Aku sok menasehati. Sok jadi psikolog. Psikolog dadakan. Tanpa diploma!

"Justru karena telpon aku jadi inget terus. Sudah tanpa ibu. Ayahnya jauh pula," gumamnya penuh sesal.
Pier! Pirenaningtyas Kusumawicitra, lengkapnya. Gadis cilik delapan tahun yang tak pernah merasakan rengkuhan hangat lengan ibunya. Ibu Pier meninggal sesaat ia menghirup udara wangi dunia. Menjadikan ayah Pier terpaksa menjadi duda muda. Saat baru dua puluh enam tahun usianya.
"Tapi dia merasa lebih nyaman dengan Eyangnya, piye? Carikan Ibu baru, supaya kalian bisa berkumpul. Buang ketakutan yang nggak perlu. Aku pikir, kamu tahu perempuan seperti apa yang cocok buat Pier ...?"
"Inginku, libur minggu ini Ibu sama Pier ke Lampung. Tapi Ibu ndak mau. Ndak ada yang ngurus bisnis tembakaunya,"
"Keinginanmu itu selamanya tinggal di Lampung atau pindah ke Jawa?"
"Pindah, Mbakyu. Entah di Purworejo, Solo, Semarang ..."
"Gadis Lampung keturunan Jawa yang cantik dan baik hati tidak ada yang menarik hatimu?"
"Banyak, Mbak. Yang cantik. Yang keturunan Jawa."
"Ambil satu. Ojo kesuwen. Ben atimu tentrem ..."
"Ah, Mbakyu ini ..."
"Kok 'ah', sih? Asal Pier menyukai calon istrimu dan calonmu itu sayang Pier? Beres, kan? Dan tentunya juga kalian saling mencintai."
"Ah, Mbakyu ini. Orang pingin pulang kok malah disuruh cari jodoh?"
"Pingin pulang karena kangen. Muncul kangen karena nggak kumpul. Biar kumpul kamu mesti punya istri. Kan, gitu urutannya?"
Ia ketawa. Sangat sumbang terdengar. Katanya, "Itu masih jangka panjang Bu Presiden,"
"Hei, jangan dibikin jangka panjang. Kesenderianmu sudah lama sekali. Jangan sia-siakan usia produktifmu. Kecuali kamu berniat untuk menduda selamanya."
"Iya sih, tapi aku mesti gimana?. Kalau menghadapi soal ilmu serumit apapun, aku bisa tenang dan senang. Tapi urusan hati adalah soal yang sulit darimana harus memulai."
"Kamu kesulitan karena masih terbelenggu masa lalu ...?"
"Iya."
"Masa lalu tetaplah kau simpan di bilik terdalam. Tapi hidupmu adalah untuk masa sekarang dan yang akan datang."
"Iya, Mbak ..."
"Kedengarannya memang saranku hanyalah teori. Tetapi yang sesungguhnya ya itu."
"Saran memang perlu. Bagaimana teori bisa muncul jika tidak melalui muatan saran. Sumber saran ada dua, pengalaman yang dibahasakan dan bahasa hasil pemikiran."
*Cerpen

0 comments:

Post a Comment