Jika Mas Badiyo
tak pernah mengunggah pohon kelor, pasti yang ada di kepalaku hingga
sekarang, kelor adalah tumbuhan merambat semacam ubi jalar atau tumbuhan
rambat lainnya. Aku nggak akan pernah tahu jika ternyata tumbuhan yang
daunnya bisa disayur bening itu termasuk tumbuhan berkayu keras dan bisa
tumbuh tinggi melebihi atap rumah. Dan jika dua hari yang lalu aku tak
mengobrol dengan tetangga depan rumah, aku nggak akan pernah tahu jika
brotowali merupakan tumbuhan rambat.
Karena yang tersimpan di memori otakku selama ini adalah brotowali itu
semacam tanaman umbi-umbian seperti: kunyit, jahe, lempuyang dan lain
sebagainya.
Ketika obrolan kami sampai pada tumbuh-tumbuhan yang merimbun di halaman rumahnya, tatapanku jatuh pada tumbuhan rambat yang daunnya mirip sirih. Apa ini?
"Itu Brotowali, Mbak," katanya.
"Brotowali yang untuk jamu? Yang pahit itu?" tanyaku tidak yakin.
Dia mengangguk. "Iya, betul ...."
"Oh ...."
"Kenapa?"
"Kupikir brotowali bentuknya seperti kunyit hehe ..."
"Oalah ...," Dia ikut tertawa.
O ya, selain brotowali, di rumah Pak Tasman juga tumbuh tanaman rambat lainnya: sirih dan pohon cincau. Sirih ini sering aku minta hampir setiap minggu. Mintanya bukan dengan Pak Tasman tapi dengan Mbok Yem, perempuan yang gemar tersenyum, sama seperti pemilik rumahnya.
Udah, ceritanya gitu aja hehe ....
0 comments:
Post a Comment